Senin, 21 Oktober 2024
BBC

"Benar-benar tidak ada ruang aman" - Penindakan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus 'masih bermasalah'

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI) akan menutup sementara layanan penerimaan…

zoom-inlihat foto "Benar-benar tidak ada ruang aman" - Penindakan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus 'masih bermasalah'
BBC Indonesia
"Benar-benar tidak ada ruang aman" - Penindakan dan pendampingan kasus kekerasan seksual di kampus 'masih bermasalah'

Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS UI) akan menutup sementara layanan penerimaan laporan kekerasan seksual di kampus akibat tidak diberikan dana atau bantuan operasional oleh pihak kampus.

Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam, mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan pimpinan UI agar dapat memastikan Satgas PPKS UI mendapatkan bantuan finansial dan operasional yang dibutuhkan untuk kembali beroperasi.

“Alhamdulillah sudah langsung ditindaklanjuti. Insyaallah dalam waktu dekat harusnya sudah bisa beroperasional lagi.

”Karena Satgas PPKS sangat penting daat masa-masa pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru,” ungkap Prof. Nizam kepada BBC News Indonesia pada Selasa (25/7).

Dalam rilis resmi yang dikeluarkan oleh tim Satgas PPKS UI Periode 2022–2024, sejak Satgas PPKS UI disahkan pada November 2022 belum pernah memiliki dana operasional, ruangan yang kondusif, maupun hak-hak dan perlindungan untuk anggotanya oleh pihak universitas.

”Belum adanya dana operasional dari pihak universitas kepada Satgas PPKS UI menyebabkan pengeluaran untuk kegiatan operasional perlu menggunakan uang pribadi anggota Satgas PPKS UI, ditambah dengan pemasukan yang bersumber hanya dari donasi Panitia Seleks,“ tulis Satgas PPKS UI.

Berdasarkan informasi dalam rilis tersebut, Satgas PPKS UI sedang menangani 29 laporan kasus kekerasan seksual yang terdiri dari 30 pelaku dan 40 Korban.

Namun, dengan penutupan layanan sementara hanya akan menangani laporan kasus yang telah mereka terima hingga 24 Juli 2023.

“Satgas PPKS UI menghentikan penerimaan laporan kasus kekerasan seksual hingga Pimpinan UI berkomitmen untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam upaya melawan kekerasan seksual,“ bunyi rilis tersebut.

Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, menjelaskan bahwa saat Satgas PPKS UI dibentuk, anggaran UI 2023 sudah disusun. Sementara, revisi anggaran di UI dijadwalkan pada akhir bulan Juli.

Sebelum menerima revisi anggaran, sambungnya, kegiatan rutin Satgas PPKS selama ini didukung oleh anggaran dari unit-unit kerja lain yang sudah ada.

“Saat ini sedang berlangsung proses revisi anggaran, di mana memang anggaran untuk Satgas PPKS sedang disiapkan,“ kata Amelita.

Ia menambahkan bahwa saat ini pihak pimpinan kampus sedang mempersiapkan ruangan bagi Satgas PPKS dan hal tersebut sudah dikomunikasikan juga kepada pihak Satgas PPKS.

Mahasiswa korban kekerasan seksual: 'Laporan terbengkalai', kampus 'tidak responsif'

Caca (bukan nama asli) adalah seorang mahasiswa Universitas Indonesia. Dia mengaku pernah mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di lingkungan kampus oleh mahasiswa lain yang berbeda fakultas.

Ia mengaku menerima beberapa ujaran dan pesan daring yang mengandung unsur seksual dari seorang mahasiswa lain yang membuatnya merasa tak nyaman.

Karena sudah tak tahan lagi dengan perlakuan tersebut, ia memutuskan untuk bercerita kepada temannya yang bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Teman tersebut membantunya melapor kepada Satgas PPKS UI, lembaga himpunan mahasiswa dan pihak fakultas.

“Saya kirimkan semua bukti chat tangkapan layar, video, surat pernyataan saksi. Semuanya. Awalnya mereka semua tanggap dan kasus ini sampai dibawa ke dekan Fisip. Sempat sidang dua kali, tapi waktu itu kepotong UAS dan lanjut libur semester,“ ujar Caca.

Ia pun pasrah dengan pihak kampus yang lantas tidak menindaklanjuti laporannya. Namun, ia sempat termotivasi untuk terus mengupayakannya karena korban lain dari pelaku menghubunginya untuk berterima kasih atas laporan yang ia layangkan.

“Ya sudah, habis itu, saya susah follow up lagi, terutama ke pihak dosen tidak memberi respons sama sekali. Sampai tenggelam kasus itu. Jujur lupa waktu itu, sempat macet saat mau ke tahap dekan atau rektorat,“ ungkapnya.

Akhirnya, laporan Caca tidak diusut lebih lanjut oleh pihak kampus. Bahkan, sang pelaku tidak mendapatkan sanksi akademis apapun dan bisa menjalankan kegiatan pembelajarannya hingga lulus.

BBC News Indonesia sudah berusaha untuk menghubungi Satgas PPKS UI pada Rabu (26/07), namun mereka menolak untuk diwawancarai.

Pada Kamis (27/07), setelah artikel ini dinaikkan, Satgas PPKS UI menyatakan "tidak dan belum pernah menerima laporan" Caca tersebut.

Dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia pada Kamis (27/07) sekitar pukul 17.11 WIB, Satgas PPKS UI mengatakan pihaknya tidak pernah berhubungan dengan Dekan Fakultas dalam penyelesaian kasus, kecuali untuk tindak lanjut setelah SK Rektor disahkan.

"Tampaknya, konteks kejadian yang dikutip BBC terjadi di lingkup Fakultas dan ditangani oleh Fakultas terkait. Laporan tersebut tidak pernah sampai ke Satgas PPKS UI. Kami tidak memiliki cabang di fakultas mana pun," demikian keterangan tertulis Satgas PPKS UI, yang dikirim oleh salah seorang anggotanya.

Bagaimanapun, Caca mengaku kecewa dan marah ketika mengetahui Satgas PPKS UI menutup sementara penerimaan laporan kekerasan seksual akibat kurangnya dukungan sumber daya dari kampus.

Alasannya, menurutnya, UI masih belum menanggapi masalah kekerasan seksual secara serius.

“Saya tidak bisa berkata-kata. Benar-benar nggak ada ruang aman. Saya juga baru tahu mereka pakai uang pribadi," kata Caca.

Caca bukanlah satu-satunya mahasiswa yang merasa kesal dengan sikap kampus dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.

Imelda (nama samaran), seorang mahasiswa UI lainnya, pernah mengalami pelecehan seksual di lingkungan kampus. Ia diintip oleh seorang karyawan petugas kebersihan dari bawah pintu kamar mandi saat ia sedang duduk di toilet.

Ia melapor ke satpam dan pihak kampus, namun klaimnya tidak dianggap serius karena matanya yang minus dan dugaan bahwa ia hanya melihat makhluk halus.

“Padahal itu kelihatan banget mata manusia, dan saat aku teriak ’woi!’ dia lari kabur dan terdengar kunci yang ada di kantongnya,” jelas Imelda saat menceritakan pengalaman meresahkan itu kembali.

Ia bahkan menemukan mahasiswa lain yang mengalami hal serupa oleh pelaku yang sama. Tetapi, petugas keamanan mengatakan sang pelaku tidak bisa dipecat begitu saja karena ia merupakan “orang kecil” yang merupakan karyawan hasil outsourcing dari pihak luar.

“Hal-hal seperti ini rentan terjadi di lingkungan mana pun, termasuk di lingkungan akademisi dan saya yakin UI sudah menerima banyak [laporan] pelecehan seksual.

“Mulai dari yang mungkin bercanda, susah buat mencari bantuan dalam menangani [kasus] pelecehan seksual, sampai benar ada dan besar,” ujar Imelda.

Meskipun saat itu ia tidak melapor ke Satgas PPKS UI – karena lembaga itu belum terbentuk – ia merasa penting bagi pihak kampus untuk mempertahankan lembaga tersebut supaya mahasiswa dapat memiliki ruang aman untuk melaporkan kasus kekerasan seksual kampus.

“Harusnya UI lebih peka lagi, karena kan mereka banyak yang diurusin ya dengan adanya lembaga-lembaga kayak gini, itu mempermudah mereka untuk menyelesaikan permasalahan [kekerasan seksual],” kata Imelda.

Respons UI dan Kemendikbudristek

Kepala Biro Humas dan KIP UI, Amelita Lusia, mengatakan pihak pimpinan Universitas Indonesia telah menunjukkan komitmen mereka dalam “mendukung upaya-upaya PPKS dalam menangani laporan-laporan kekerasan seksual” dengan membentuk Satgas PPKS UI.

“Sejauh ini mereka sudah menjalankan tugas sesuai dengan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya sesuai SK SK Rektor No. 2441/SK/R/UI/2022 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia,” kata Amelita kepada BBC News Indonesia.

Ia mengatakan pihak kampus lewat Direktorat Operasi dan Pemeliharaan Fasilitas (DOPF) sedang dalam proses mempersiapkan ruangan untuk Satgas PPKS UI.

“Mereka sudah terlebih dulu menawarkan kepada PPKS lokasi ruang kerja, ruang rapat, dan lainnya kepada PPKS. Ketika ada yang dirasa kurang sesuai, kami usahakan untuk mengganti atau sedapat mungkin memenuhinya,” katanya.

Menanggapi insiden tersebut, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam mengatakan bahwa pihak Kemendikbud sedang dalam proses komunikasi dengan pimpinan kampus untuk memastikan kebutuhan Satgas PPKS UI terpenuhi.

“Kami menyayangkan layanan sampai terganggu karena anggaran Satgas belum terpenuhi. Kami harapkan Satgas PPKS bisa lebih serius lagi dalam melindungi warga kampus dari kekerasan seksual, kalau ada masalah disampaikan baik ke internal maupun juga bisa melapor ke Kemendikubudristek”

Menurut Nizam, permasalahan itu terjadi akibat komunikasi internal antara pihak kampus dan Satgas PPKS UI “kurang mengalir” dengan baik. Ia berharap ke depannya, Satgas PPKS UI bisa semakin serius dalam menjalankan tugas dengan dukungan dari pihak kampus.

Ia mengatakan keberadaan Satgas PPKS UI menjadi sangat penting, khususnya dalam masa penerimaan mahasiswa baru yang tengah berlangsung.

“Jadi tidak hanya semata satgas juga, jadi masyarakat kampus sendiri harus ikut secara proaktif mewujudkan kampus yang sehat, aman dan bebas dari kekerasan maupun kekerasan seksual,” kata Prof. Nizam.

Berdasarkan Permendikbud nomor 30 tahun 2021, perguruan tinggi harus membentuk satuan tugas (satgas) dalam melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Secara rinci, satgas itu bertugas antara lain membantu perguruan tinggi menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, melakukan survei kekerasan seksual paling sedikit satu kali dalam enam bulan, menyosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta menindaklanjuti kekerasan seksual berdasarkan laporan.

Dalam Pasal 37, Perguruan Tinggi wajib memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang satgas.

Hal tersebut meliputi penyediaan sarana dan prasarana operasional, pembiayaan operasional pencegahan dan penanganan, pelindungan keamanan bagi anggota satgas dan pendampingan hukum bagi anggota Satuan Tugas dalam menghadapi permasalahan hukum.

Komnas Perempuan: Tidak hanya terjadi di UI

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengatakan bahwa permasalahan Satgas PPKS di perguruan tinggi yang tidak menerima anggaran maupun dukungan operasional lainnya juga banyak terjadi di kampus-kampus lain, khususnya di daerah.

Hal itu ia dengar dari para anggota-anggota satgas saat ia memfasilitasi acara pelatihan satgas di wilayah Barat, khususnya di Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar.

“Itu memang terlihat keluhan-keluhan dari para tim satgas itu. Kadang-kadang mereka juga mendapatkan intimidasi dari pelaku yang luar biasa, yang kadang juga belum mendapatkan perlindungan. Sehingga jangankan anggaran, anggaran masih sangat terbatas sekali,” kata Alimatul.

Ia mengatakan hal itu menunjukkan pihak kampus masih kurang memiliki kesadaran akan pentingnya menangani masalah kekerasan seksual di kampus. Padahal, angka kasus-kasus kekerasan seksual di kampus yang belum terselesaikan pun masih tergolong tinggi.

“Jadi kebanyakan kasus-kasus dari perguruan tinggi yang lapor ke Komnas Perempuan, itu karena memang belum selesai di kampusnya. Kadang-kadang karena macet atau tidak ada penyelesaian sehingga kemudian melapor ke Komnas Perempuan,” jelas Alimatul.

Berdasarkan catatan tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, kekerasan di tempat pendidikan mengalami peningkatan yang tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 12 menjadi 37 kasus. Itu pun, kata Alimatul, belum merepresentasikan seluruh data karena belum diintegrasikan dengan Kemendikbudristek dan Kemenag.

Alimatul mengatakan sebagian besar dari laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan tahun ini, sebagian besar merupakan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual.

“Dan ini merupakan fenomena baru karena selama 21 tahun, CATAHU yang paling banyak dilaporkan adalah pemerkosaan. Sekarang yang paling tinggi pelecehan,” ujarnya.

Sehingga, sambungnya, layanan satgas PPKS dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual di kampus menjadi semakin penting.

Profesor Nizam menganjurkan agar satgas-satgas PPKS di kampus-kampus yang mengalami masalah serupa - yakni tidak diberikan dukungan sumber daya dari pimpinan kampus – atau hambatan lainnya dalam menjalani tugas melaporkan ke pihak Kemendikbudristek agar dapat segera ditindak lanjuti.

“Kemendikbud selalu terbuka jika ada masalah, baik dari sisi satgasnya, dari sisi universitasnya atau dari sisi mahasiswa, dari sisi dosen. Kalau ada masalah bisa langsung dilaporkan ke Kementerian.

“Dan selalu kita tindaklanjuti, baik dengan mencarikan solusi atau mengingatkan kalau ada pihak-pihak yang kurang melakukan fungsi atau tugasnya,” ujar Prof. Nizam.

Lebih lanjut, Ia mengatakan perguruan tinggi tidak bisa sepenuhnya mengandalkan satgas PPKS dalam menangani kekerasan seksual di kampus. Melainkan, seluruh elemen perguruan tinggi perlu bekerja sama dalam memastikan kampus menjadi tempat yang aman dan bebas kekerasan seksual.

“Karena saat ini satgas PPKS sudah terbentuk di seluruh PTN kita. Itu tentu harus didukung penuh agar kita bisa wujudkan kampus yang aman dan nyaman bagi seluruh warganya,” ujarnya.

*) Artikel ini diperbarui dengan menambahkan keterangan Satgas PPKS UI pada Kamis (27/07), yang menyatakan mereka tidak pernah menerima laporan kekerasan seksual yang dilayangkan oleh Caca.

Sumber: BBC Indonesia
BBC
BERITA REKOMENDASI
  • AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2024 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
    About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan